Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat
tersebut berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan
berkaitan dengan harta.
Syarat
pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2) merdeka.[1]
Adapun
anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya-
masih tetap dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat
ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.[2]
Syarat
kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta
tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut adalah harta yang
berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah mencapai haul
(harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut merupakan
kelebihan dari kebutuhan pokok.[3]
Berikut
rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.
(1)
Dimiliki secara sempurna.
Pemilik
harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah Ta’ala sebagaimana
disebutkan dalam sebuah ayat,
آَمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar.” (QS. Al Hadiid: 7) Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan
dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah milik Allah. Hamba tidaklah memiliki
apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya
pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan harta orang
lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat
banyak.”[4]
Harta
yang hakikatnya milik Allah ini telah dikuasakan pada manusia. Jadi manusia
yang diberi harta saat ini dianggap sebagai pemegang amanat harta yang
hakikatnya milik Allah.
Sedangkan
yang dimaksud dengan syarat di sini adalah harta tersebut adalah milik di
tangan individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau harta tersebut
disalurkan atas pilihannya sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia
peroleh.[5]
Dari
sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang tepat dalam hal ini,
piutang bisa dirinci menjadi dua macam:
- Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti ini dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta yang dimiliki oleh orang yang member utangan dan dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
- 2. Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.[6]
(2)
Termasuk harta yang berkembang.
Yang
dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat
bagi si empunya atau harta itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Oleh
karena itu, para ulama membagi harta yang berkembang menjadi dua macam: (a)
harta yang berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta
perdagangan dan hewan ternak hasil perkembangbiakan, (b) harta yang berkembang
secara takdiri (kualitas).
Dalil
dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ
عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ
“Seorang
muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan kudanya.”[7]
Dari
sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan untuk kebutuhan pokok
semisal makanan yang disimpan, kendaraan, dan rumah.[8]
(3)
Telah mencapai nishob.
Nishob
adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat. Untuk masing-masing harta yang
dikenai zakat, ada ketentuan nishob masing-masing yang nanti akan dijelaskan.
(4)
Telah mencapai satu haul.
Artinya
harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah.
Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk
zakat hasil pertanian tidak ada syarat haul. Zakat pertanian dikeluarkan setiap
kali panen.[9]
(5)
Kelebihan dari kebutuhan pokok.
Harta
yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer
seseorang itu dianggap mampu atau berkecukupan. Sedangkan harta yang masih
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak
mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah
apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka seseorang bisa jadi akan celaka,
seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. [10]
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 11-12.
[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 12-13 dan Az Zakat,
64-66.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 13 dan Az Zakat, 63.
[4] Tafsir Al Qurthubi, 17: 238
[5] Lihat Az Zakat, 67.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/14-15.
[7] HR. Bukhari no. 1464
[8] Lihat Az Zakat, 69-70.
[9] Lihat Az Zakat, 70-71.
[10] Lihat Az Zakat, 71-72.
EmoticonEmoticon