Syahadat
laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan
hatinya bahwa tidak ada ma’bud
[sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza
wa jalla. Karena ilah
bermakna ma’luh [sesembahan],
sedangkan kata ta’alluh
bermakna ta’abbud [beribadah].
Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada
ungkapan laa ilaha, sedangkan
penetapan terdapat pada ungkapan illallah.
Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di
dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah; dan
konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menolak segala
bentuk ibadah kepada selain-Nya (lihat Fatawa
Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Orang
yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu
beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan yang bisa
memasukkan ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan sholat
wajib, zakat yang telah difardhukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Kalimat
laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan
selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai,
yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang
menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini
semuanya tidak pantas dipersembahkan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang
mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang ia
merupakan kekhususan ilahiyah- maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian
tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk
sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya
termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab
at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)
Dengan
demikian, seorang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah wajib mengingkari
segala sesembahan selain-Nya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang
disembah selain Allah, maka terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya adalah
urusan Allah ‘azza wa jalla.”
(HR. Muslim dari Thariq bin Asy-yam radhiyallahu’anhu)
Adapun
orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan tetapi tidak mengingkari
sesembahan selain Allah atau justru berdoa kepada para wali dan orang-orang
salih [yang sudah mati] maka orang semacam itu tidak bermanfaat baginya ucapan
laa ilaha illallah. Karena hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam itu saling menafsirkan satu sama lain. Tidak boleh
hanya mengambil sebagian hadits dan meninggalkan sebagian yang lain (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal.
12)
Tidak Cukup Di Lisan
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik
juga mempersaksikan keesaan Allah
‘azza wa jalla. Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka.
Mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati
mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal.
23 cet. Dar Tsurayya).
Kalimat
laa ilaha illallah tidak cukup hanya diucapkan, tanpa ada keyakinan dan
pelaksanaan terhadap kandungan dan konsekuensinya. Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang
munafik (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di dalam
kerak paling bawah dari neraka Jahannam, dan kamu tidak akan mendapati penolong
bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)
Allah
ta’ala juga berfirman (yang
artinya), “Apabila datang kepadamu orang-orang munafik seraya mengatakan: Kami
bersaksi bahwa engkau benar-benar utusan Allah. Allah mengetahui bahwa engkau
benar-benar utusan-Nya. Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu
benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Seorang
yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melandasi syahadatnya dengan
keikhlasan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi
orang yang mengucapkan laa ilaha illallah karena [ikhlas] mencari wajah Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)
Seorang
yang mengucapkan laa ilaha illallah pun harus melandasi syahadatnya dengan
keyakinan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada
ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwsanya aku -Muhammad- adalah
utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua
persaksian ini tanpa keragu-raguan lalu dihalangi masuk surga.” (HR. Muslim)
Oleh
sebab itu para ulama menerangkan bahwa untuk mewujudkan laa ilaha illallah di
dalam kehidupan kita, harus terpenuhi hal-hal sebagai berikut:
- Mengucapkannya
- Mengetahui maknanya
- Meyakini kandungannya
- Mengamalkan kandungan dan konsekuensinya; yaitu beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain-Nya
- Membela orang yang menegakkan tauhid dan memusuhi orang-orang yang menyimpang dan menentangnya (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal. 11 dan 16)
Siapa
pun yang melakukan perkara yang membatalkan keislaman maka sesungguhnya dia
telah membatalkan syahadatnya. Karena syahadat ini hanya akan berguna baginya
apabila dia beramal dengannya dan istiqomah di atasnya. Dia beribadah kepada
Allah saja dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Dia juga taat kepada
perintah dan larangan Allah. Selain itu, dia tidak melakukan perkara yang
membatalkan syahadatnya, baik berupa ucapan, perbuatan, atau keyakinan. Apabila
seorang telah melakukan perkara yang membatalkan syahadatnya, maka tidak ada
artinya ucapan syahadat itu meskipun dia ucapkan seribu kali, bahkan walaupun
dia menunaikan sholat, puasa, zakat dan haji (lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah karya Syaikh Bin Baz rahimahullah [4/20] yang disusun oleh
Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir)
Siapa
saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan maka
dia harus siap menanggung resiko hukuman dari Allah, meskipun dia telah
mengucapkan kalimat tauhid dan meyakini kandungannya. Dan apabila dia melakukan
suatu perkara yang membatalkan keislamannya maka dia berubah status menjadi
murtad dan kafir, sehingga ucapan syahadat itu tidak lagi bermanfaat baginya.
Oleh
sebab itu, kalimat tauhid ini harus direalisasikan di dalam kenyataan dan dijalankan
konsekuensinya. Kalau tidak demikian maka orang tersebut berada dalam ancaman
bahaya yang sangat besar jika tidak bertaubat dari kesalahannya, meskipun dia
adalah pemilik tauhid. Allahul
musta’aan (lihat Syarh Kitab
at-Tauhid oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 26)
EmoticonEmoticon